Selasa, 07 Agustus 2012



MERIAM ANAK MAKASSAR

Dalam buku yang ditulis Dr. K.G. Crucq dan J.W. Vogel, menjelaskan bahwa meriam “Anak SUKU Makassar” adalah meriam yang terbesar yang pernah ada dan dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam bidang pertahanan. Panjang diameter lobang mulutnya 41,5 cm, sehingga orang dengan mudah dapat masuk ke dalamnya.
Menurut Dr. K.G. Crucq yang banyak melakukan penelitian tentang meriam-meriam yang ada di Indonesia, bahwa meriam “Anak Makassar” yang ada di Benteng Somba Opu itu lebih besar dari padameriam “Pancawura” atau “Kyai Sapujagad” yang ada di Keraton Surakarta. Jika dibandingkan dengan meriam-meriam kramat lainnya, seperti misalnya meriam “Ki Amuk” yang ada di banten, meriam “Anak Makassar” lebih besar ukuran atau kalibernya.
Buku karya Dr. K.C. Crucq yang berjudul De Geschiedenis van Het Heiling Kanon van Makassar (Sejarah Meriam Orang-orang Makassar), menuliskan: “Kemudian armada (dipimpin oleh Van Dam pada tahun 1660) mendekati Somba Opu yang dipertahankan oleh tiga buah benteng yang diperkuat, yakni Panakoke (maksudnya Panakkukang), Samba Opu (maksudnya Somba Opu) dan Ujung Pandang. Benteng-benteng itu dipersenjatai dengan 130 meriam. Benteng Somba Opu berbentuk persegi empat. Dinding atau front sebelah barat (yakni sebelah atau arah laut Selat Makassar) dan dinding sebelah utara sangat diperkuat. Di dinding barat (arah Selat Makassar) terdapat Baluwara Barat Daya, Baluwara Tengah dan Baluwara Barat laut yang juga sering disebut Baluwara Agung (Groot Bolwerk). Di Baluwara agung inilah ditempatkan sebuah meriam yang amat dahsyat yang disebut meriam “Anak Makassar”.
J.W. Vogel dalam tulisannya yang berjudul “Oost-Indianische Reisbesch-reibung” menggambarkan bahwa mulut meriam “Anak Makassar “ itu sedemikan besarnya “dass der grosste mensch gar fuglich hinein kriechten und sich verbergenkan” (sehingga orang yang paling besar sekalipun dengan mudah dapat merayap ke dalamnya dan bersembunyi di situ). Berarti meriam “Anak Makassar” ini seluruhnya memiliki bobot 9.500 kg. atau 9,5 ton. Panjang meriam keramat ini enam meter. Dengan kaliber 41,5 cm.
Dirampas Speelman
Pada 15 Juni 1668 Speelman melancarkan serangan total ke Benteng Somba Opu. Pertempuran hari pertama berlangsung 24 jam terus menerus. Fuselir-fuselir Belanda menembakkan 30.000 peluru. Setelah menderita, 50 orang serdadu Belanda tewas dan 68 orang luka parah, maka Belanda berhasil menduduki pertahanan pertama Benteng Somba Opu yang tebal dindingnya 12 kaki itu. Namun perang tetap berkobar. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Akhirnya, setelah bertarung habis-habisan selama 10 hari siang dan malam, pada tanggal 24 Juni 1669, seluruh Benteng Somba Opu dapat dikuasai oleh Belanda.
Dua ratus tujuh puluh dua pucuk meriam besar kecil, di antaranya meriam keramat “Anak Makassar” dirampas oleh Speelman. Benteng dan Istana Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah. Beribu pond buskruit meledakkan benteng dan istana itu. Udara memerah bak menyala, tanah menggelegar, berhamburan ke angkasa.
Malam yang Mengerikan
Sebagai seorang penulis Belanda yang banyak menulis tentang Gowa, Dr. F.W. Stapel dalam salah satu bukunya berjudul Het Bongaais Verdrag. Pada halaman 57-57 Stapel menulis pengakuan yang dibuat oleh orang-orang Belanda sebagai berikut:
“Er werd niet allen dien dag maar ook den volgenden nacht aan een stuk door gestreden te gelooven sijnde dat het soo vreeselycke nacht is geweest, als crijgers van hoogen ounderdom misschien in Europa selve niet dicht jls gehoort. De Nederlandsche musketiers verschooten dien nacht 30.000 cogels! De vijand verdedigdezich met een ware furie, tot op den middag van den 17 den; toen was het resultaat, dat men ten koste van 50 dooden en 68 gewonden eenige belangrijke voorwerken wan het kasteel bezet had, die dadelijk met schanskorven warden versterkt”.
“Pertempuran tidak hanya pada hari itu saja, akan tetapi juga berlangsung pada malam berikutnya semalam suntuk dengan tiada henti-hentinya. Percaya atau tidak percaya, malam itu adalah malam yang amat dahsyat dan sangat mengerikan, sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya mungkin bahkan di Eropa sekalipun jarang yang pernah mendengarnya. Serdadu-serdadu Belanda pada malam itu menembakkan 30.000 (tiga puluh ribu) butir peluru. Musuh (orang-orang Gowa) mengadakan perlawanan yang gagah berani bagaikan banteng keraton sampai pada sore hari 17 Juni. Hasil yang dicapai pada waktu itu dengan pengorbanan 50 (lima puluh) orang tewas dan 68 (enam puluh delapan) orang luka-luka. Beberapa bagian depan yang penting benteng itu dapat direbut dan diduduki yang segera kami perkuat dengan kubu-kubu pertahanan”.
Stapel juga menulis pada halaman 58 sebagai berikut:
“In Somba Opu warden in total buit gemaakt 272 groote en kleine kanonnen, waaronder het fabuleuze anak Makassar, dat wel beschadigd was, doch “sijn vervoeren en vertoonen nog genoe gsaem waerdigh is”
“Di Somba Opu dapat direbut seluruhnya 272 pucuk meriam besar dan kecil, diantaranya juga meriam “Anak Makassar” yang luar biasa itu. Sungguhpun dalam keadaan rusak, namun meriam Anak Makassar itu masih juga dapat menampakkan kedahsyatannya”.
Dimana Meriam anak Makassar tersebut adalah Asli Hasil Ciptaan/tempaan Orang Makassar yang di Prakarsai oleh Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang/Raja Tallo ke 8/Mangkubumi Kerajaan Gowa.


Sureq La Galigo Bukan Karya Sastra Bugis

Tahukah anda atau masih ingatkah anda pernyataan dari Muh. Salim - salah seorang penerjemah Sureq Lagaligo bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Olehnya itu Muh. Salim butuh waktu 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 36 Bab itu. (dikutip dari catatan Ashari Thamrin)

Dari pernyataan Salim ini, lantas muncul pertanyaan dalam hati, Pertama, kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu Salim hanya
butuh waktu sebulan atau paling tidak 2 sampai 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut. Kedua, bagaimana hal itu bisa ada (sebagaimana Muh. Salim katakan) sedangkan selama ini kita semua mengetahui dan meyakini bahwa Lontara Bugis adalah merupakan pengembangan dari Aksara Lontara Makassar...?

Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua diatas saya mencari literatur yang bisa menjawab hal itu, berkat panduan seorang teman sayapun mendapatkan literatur tersebut setelah menelusuri Genesis bahasa Austronesia, bahwa bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Tidak berhenti disitu, saya pun coba mencari literatur yang lain, tanpa sengaja sambil membaca buku "Lontara Makassar" yang ditulis oleh Drs. Syarifuddin Kulle dan Zainuddin Tika, SH mendapatkan bahwa Lontara Makassar (Lontara
pertama/ Lontara Jangang-Jangang) ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara SANGSEKERTA. Berikut kutipannya "Saat kebingungan itu, muncullah ide dari Daeng Pamatte yang saat itu menjabat sebagai syahbandar (sabannara) dermaga Somba Opu. Ia memperhatikan burung-burung dari berbagai gaya, baik gaya terbang, berdiri. dari hasil pengamatan terciptalah 18 aksara. Lontara itu kemudian dikenal dengan istilah Lontara Jangang-Jangang (Jangang-jangang = burung). (Monografi kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, 1984 : 10). Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa Lontara Jangang-Jangang ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sangsekerta (A. Moein MG, 1990 : 14)". Dari tulisan A. Moein ini, sayapun mencari bukti kebenarannya, Alhamdulillah... saya pun mendapatkannya, hal ini dapat dilihat dari gambar yang ada disamping, betul bahwa Aksara Pallawa pun tersebut mempunyai jumlah 18 aksara berikut bunyinya sama dengan Lontara Mangkasara (Lontara Jangang-Jangang ciptaan Daeng Pamatte'). Sejarah lahirnya Lontara Makassar inilah yang dimaksud oleh Salim, jadi sangatlah salah kalau Salim mengatakan bahwa bahasa asli dari Sureq Lagaligo itu bercampur dengan Aksara Sangsekerta.

Lalu apa alasan Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” bercampur bahasa Sangsekerta dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti...? Hanya Allah dan dia saja yang tahu. Belum puas sampai disitu. bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain, maka yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan sendiri, mengingat keterbatasan dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan. Tapi tidak berhenti disitu, sayapun berusaha untuk mencari keterangan lain, mungkin saja ada keterangan lain yang bisa lebih menguatkan keyakinan saya. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan dari Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A melalui bukunya yang berjudul ISLAMISASI KERAJAAN GOWA, ditulis bahwa B.F. Matthes pada tahun 1883 menghimpun Lontara Pattorioloang dan Lontara Latoa milik Gowa Tallo, Lontara Pattorioloang ini selanjutnya diberi judul Makassaarche Crestomathie, dan disebutkan pula bahwa dalam menggunakan jenis Lontara ini diperlukan kehati-hatian, sebab sebagian bercampur mitos, hal 11 dan 12)* Akhirnya jelaslah akan semuanya bahwa Lontara asli yang di tulis ulang oleh Collieq Pujie bersama Matthes sebagaimana kita ketahui bersama, diatas kertas papirrus yang lebih dikenal dengan nama Sureq Lagaligo yang menjadi tanda tanya besar selama ini bagi masyarakat, adalah Lontara Pattorioloang milik Gowa Tallo dengan kata lain Sureq Lagaligo adalah KARYA SASTRA MAKASSAR.**

Wallahu a’lam bisshawab. Wa Shadaqallahul ’adzim
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2010/06/sureq-lagaligo-bukan-karya-sastra-bugis.html

Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII (Part I)

 

 

Dengan bermunculnya kapal-kapal bangsa Eropa di perairan Nusantara dalam permulaan abad XVII, terutama di bahagian timur Indonesia, yang secara langsung berlayar ke tempat-tempat penghasilan rempah-rempah, maka mau tak mau akan terjadi persaingan diantara mereka itu sendiri. Selain dari itu Kerajaan Gowa memperluas daerahnya dan memperbesar armada niaganya, sehingga disamping orang-orang Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris, orang-orang Makassar juga punya andil besar dalam masalah pelayaran ke pulau-pulau penghasil rempah-rempah itu.

Oleh Kompeni Belanda menjadi jelas, bahwa orang-orang Makassar merupakan saingan yang berat baginya. Terlebih-lebih sesudah orang-orang Belanda selesai mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol, Portugis, dan Inggris di Maluku, ternyata pelabuhan makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang dan membeli rempah-rempah lebih murah di Makassar dari pada di daerah Maluku sendiri. *1)
Sultan Alauddin

Sesudah Karaeng Tunipasulu dikeluarkan sebagai Raja Gowa XIII dalam tahun 1593, maka iapun digantikan oleh adiknya yang masih berumur 7 tahun, yang bernama I Mangarangi Daeng Manrabia sebagai Raja Gowa ke XIV.

Berhubung karena usianya yang masih sangat muda, maka yang bertindak sebagai walinya ialah pamannya sendiri, ialah Raja Tallo yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri dan merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa.

I Mangarangi Daeng Manrabia lahir pada tahun 1586 sebagai putera Tunijallo Raja Gowa ke XII. Dua belas tahun lamanya memerintah, Raja ini masuk islam dalam tahun 1605 bersama-sama dengan pamannya, Raja Tallo, pada tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah (22 September 1605). Yang mengislamkannya ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang berasal dari kota tengah (Sumatera Barat). Di gelar juga Datok ri Bandang dan meninggal di Makassar serta di makamkan di kampung Kalukubodoa. Kedatangan Datok ri Bandang di Makassar tidak langsung dari Sumatera Barat, tetapi dari Johor dimana dia menetap dan berangkat ke Makassar atas perintah Sultan Johor.

Mangkubumi kerajaan Gowa (Raja Tallo) I Mallingkaang Daeng Manyonri setelah masuk islam digelar Sultan Abdullah Awawul Islam, berhubung karena beliaulah yang lebih dahulu mengucapkan kalimat syahadat, kemudian disusul oleh Raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia dengan gelaran Sultan Alauddin.

Dengan sendirinya maka banyaklah orang-orang yang memeluk agama islam di Gowa dan Tallo. Terlebih-lebih Mangkubumi kerajaan Gowa yang lazim di sebut Karaeng Matuaya sangat bergiat dalam hal ini. Dua tahun kemudian, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah selesai di Islamkan dan sebagai buktinya diadakanlah sembahyang Jumat yang pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016).

Penyebaran Agama Islam

Dengan dipeluknya agama islam oleh kedua Raja itu, maka perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan semakin lancar jalannya.

Raja Gowa, Sultan Alauddin, mengirim utusan-utusan ke pedalaman Sulawesi Selatan, yaitu kepada beberapa Raja-Raja, mengajak mereka itu supaya memeluk agama Islam, sebagaimana perjanjian-perjanjian antara mereka itu sebelumnya, bahwa barang siapa diantaranya yang melihat jalan untuk menuju jalan kebaikan, maka dialah yang harus memberitahukan hal itu kepada lainnya.

Oleh beberapa kerajaan kecil maka anjuran Raja Gowa itu diterimanya dengan baik, sehingga pengislaman secara damai di tempat itu. Tetapi dengan kerajaan Bugis yang kuat, terutama "Tellumpoccoe" yaitu kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng, menolak ajaran Raja Gowa, sehingga terjadi perang antara Gowa dengan "Tellumpoccoe".

Mula-mula daerah Sawitto yang di islamkan oleh Sultan Alauddin dalam tahun 1607, kemudian berturut-turut (sesudah dan terjadi pertempuran-pertempuran) Sidenreng dan sekitarnya masuk islam dalam tahun 1608, Soppeng dalam tahun 1609, Wajo dalam tahun 1610 dan Bone dengan resmi memeluk agama Islam dalam tahun 1611. Dalam jangka waktu 4 tahun, maka seluruh Sulawesi Selatan telah di islamkan oleh Raja Gowa Sultan Alauddin secara resmi.

Abraham Sterck berbuat keji

Dalam tahun 1607 setibanya Cornelis Matelief di Ambon, Dia mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada Raja Gowa supaya Raja Gowa jangan mengirim beras ke Malaka dan membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda. *3) Permintaan itu tiada di pedulikan Gowa. Dengan sendirinya merenggangkan hubungan baik diantara keduanya, terutama seketika Belanda telah mulai berhasil memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropah lainnya dengan sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar. Disamping untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting ialah untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan.

Dengan sendirinya sikap menjauhi dari pihak Komponi Belanda (VOC) mulai nampak. Dalam tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan penghapusan kantor di makassar, yang berarti putusnya hubungan baik dengan daerah itu. Tetapi sebelum hal ini merupakan suatu ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke kapal "Engkhuysen" yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat berangkat pamit. Akan tetapi masih terdapat piutangnya sama Raja. Oleh sebab itu atas anjurannya, maka kapitan kapal mengundang sejumlah pembesar-pembesar Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya. Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka di suruh serangnya untuk melucuti seluruh senjata-senjatanya karena hendak dijadikan sebagai sandra (gijselaar). *4)

Perkelahian pun terjadilah di kapal itu pada tanggal 25 April 1615, menyebabkan kedua belah pihak menderita kerugian. Pembesar-pembesar Makassar yang datang itu kebanyakannya tewas, terkecuali dua orang, yakni Ince Husain (Syahbandar) dan KaraEngta ri Kotengan (salah seorang keluarga raja) terutama dan dibawa ke Banten. Dengan sendirinya ketegangan-ketegangan pun mulailah terjadi, tetapi belumlah secara besar-besaran.

Sultan Alauddin sangat gusar sekali, tetapi masih dapat menahan diri menunggu sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda. Beberapa buah kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih dietrimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.

Pada akhir tahun 1616 sebuah kapal Belanda yang bernama "De Eendragt" yang setelah meninggalkan tanah airnya terdampar di pantai barat Australia dan membikin peta sebagian daerah itu. Dari Australia kapal itu tiba di laut Jawa melalui selat Bali dan tanpa mengetahui kejadian itu di Makassar dan penutupan kantor dagangnya, telah berlabuh di pelabuhan Makassar dan telah turun ke daratan. Kapal, muatan dan anak buahnya itu pun menjadi mangsa orang Makassar. Dan mulai pada waktu itulah terjadi perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Alauddin meluaskan daerahnya

Lambat laun Sultan Alauddin memperbesar daerahnya dengan jalan memerangi dan menaklukkan daerah-daerah lain. Ia mengirim angkatan perangnya ke Nusatenggara, Kalimantan dan Maluku.

Kecuali pulau Solor yang telah di taklukkannya pada tahun 1602, maka Bima di taklukkan oleh Hulubalang Gowa yang bernama Lokmok Mandalle dalam Tahun 1616, Sumbawa ditaklukkan dalam Tahun 1618 oleh Karaeng Maroanging. *5)

Dalam Tahun 1626 Sultan Alauddin sendiri dengan disertai Mangkubuminya KaraEng Matuaya pergi ke Buton dan Mengalahkan Negeri ini. Pulau Pancana (Muna), pulau-pulau Banggai, pulau G. Api dan kepulauan Sula di taklukkannya pula.

Pada tanggal 3 Juli 1626 Sultan Alauddin kembali dari Buton dan singgah di Bima serta dialahkannya Bima, Dompu, Sumbawa, Kengkelu (Tambora). *6) Dibuatnya perjanjian dengan Bali dan di kalahkannya Kerajaan Kutai dan Berau di Kalimantan Timur. Dan setelah kembali ke Kerajaannya, maka Sultan Alauddin menguasai Maros dan daerah-daerah sekitarnya. *7) Sesudah itu maka Sultan Alauddin menitahkan supaya di buat uang yang berlaku di seluruh daerah di bawah kekuasaannya. Dalam tahun 1629 maka dibuatlah uang yang akan dipakai untuk pertama kalinya di dalam daerah Kerajaan Gowa yang terbuat dari timah.

Setelah benteng-benteng Gowa selesai, yaitu benteng-benteng yang menjadi pelindung benteng Somba Opu (tempat raja bersemayam) maka oleh Sultan Alauddin disuruh dirikannya sebuah benteng (kasteel) yang dinamakannya "Pannakkukang" (Tempat yang merindukan).

Pada tanggal 21 Oktober 1632, Sultan Alauddin berangkatlah pergi ke Tanah Toraja dan pada tanggal 13 November 1632 iapun kembalilah sesudah menaklukkan negeri Bolong. Dalam tahun 1632 ini juga orang Bima mengadakan perlawanan, sehingga terjadi pada tanggal 25 November 1632 Karaeng ri Burakne dikirim ke Bima untuk memadamkan huruhara itu.

Pada tanggal 7 April 1633 tibalah Karaeng ri Burakne dari Bima dan barulah pada tanggal 21 Juni 1633 orang Bima pun datang sendiri menghadap Raja Gowa Sultan Alauddin.

Selanjutnya di riwayatkan, bahwa pada tanggal 17 Oktober 1633 diutuslah Daeng Mangambara dan Daeng Mangalle memerangi Kabaena dan menaklukkan negeri itu. Dan dalam tahun itu juga, maka Gowa membuat kontrak persahabatan dengan Mataram. *8)

Usaha perdamaian Belanda gagal

Dalam tahun 1625 tibalah di Makassar Gubernur Belanda di ambon yang bernama Herman van Speult. Ia mencoba untuk membuat suatu perjanjian persekutuan dengan Makassar, supaya dapatlah lebih dekat untuk mengamat-amati segala gerak-gerik orang Makassar, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya Raja Gowa Sultan Alauddin membuat perjanjian dengan Raja Ternate untuk bersama-sama menyerang Belanda di Maluku Utara antara tahun 1627-1630.

Sebanyak mungkin Raja Gowa Sultan Alauddin selalu beriktiar untuk membawa kerugian kepada kepunyaan-kepunyaan Belanda dengan jalan mengadakan perdagangan smokkel (penyelundupan) atau menyerang kedudukan Belanda.

Dalam tahun 1632 tibalah di Makassar Anthony Caen untuk membuat perjanjian dengan Gowa, tetapi usaha Anthony Caen itu tidak berhasil. Bahkan orang Belanda yang ingin sendirian saja berdagang di kepulauan Indonesia, sangat marah sekali dilihatnya kapal-kapal bangsa eropah lainnya sedang berlabuh di pelabuhan Makassar, terutama 2 kapal Deen yang sedang memunggah dan memuat barang dagangan.

Sementara itu Sultan Alauddin terus-menerus memperbesarkan kerajaannya. Dalam tahun 1634 ia memerintahkan supaya Sulawesi Utara yang takluk kepada Ternate, seperti Manado, Gorontalo dan Tomini di rampas. Selanjutnya ia mengirim bala bantuan ke Kimelaha di Luhu (Maluku) untuk merintangi perbuatan orang Belanda yang hendak membinasakan tanaman-tanaman cengkeh di daerah itu.

Untuk memudahkan penjagaan supaya jangan banyak yang terjadi penyelundupan rempah-rempah dari Maluku, maka Kompeni Belanda meluaskan penanaman cengkeh hanya di pulau Ambon saja serta melarang dan membinasakan tanaman cengkeh diluar pulau itu. Dengan jalan ini Kompeni dapat mempertahankan monopolinya dan dapat menentang saingannya. Tetapi namun demikian, Makassar tidak mengakui akan tindakan monopoli Kompeni di Maluku dan membantu rakyat yang memberontak kepada Belanda.

Belanda mulai menyerang

Kalau selama ini pertempuran, orang-orang Makassar dengan orang-orang Belanda hanya terbatas di perairan Maluku, maka sekarang ini tibalah waktunya bagi Belanda untuk menyerang secara langsung di daerah Makassar sendiri.

Pada tanggal 13 Pebruari 1634 datanglah 12 kapal Belanda yang terdiri dari kapal-kapal besar dan kecil. Kapal-kapal itu ditembaki oleh penjaga pantai pada tanggal 19 Pebruari 1634 berhubung oleh karena hendak berlabuh dekat benteng Pannakkukang. Kemudian kapal itu meninggalkan tempat itu.

Pada tanggal 13 Juni 1635 angkatan perang Belanda menyerang lagi dari laut dengan meriam yang memuntahkan pelurunya terhadap pertahanan orang Makassar di Galesong. Sampai pertengahan bulan Agustus, usaha Belanda untuk menduduki dan memaksa Makassar dengan kekerasan senjata ternyata tidak berhasil. Bahkan beberapa orang Belanda di bunuh, diantaranya seorang saudagar Belanda yang bernama van Vliet. *9)

Benteng pertahanan di perkuat

Berhubung dengan telah tampaknya akan kemungkinan-kemungkinan penyerbuan Belanda ke Gowa, maka oleh Sultan Alauddin tidaklah lalai daripada memperkuat bentang-bentang pertahanannya.

Pada tanggal 29 Juli 1634 Sultan Alauddin pergilah berdiam untuk sementara di Pannakkukang dan pada waktu itu dibuatlah lagi sebuah dinding pertahanan sekeliling benteng pannakkukang.

Benteng Ujung Pandang mulai ditembok dengan bata pada tanggal 9 Agustus 1634, juga dengan maksud untuk menjaga setiap kemungkinan penyerbuan musuh dari laut. Sedangkan benteng Barombong pada tanggal 30 April 1635 diperkuat dengan 855 orang dari tentara yang bertugas di Somba Opu. Dan pada tanggal 23 Juni 1635 rakyat Somba Opu dikerahkan untuk membuat dinding kedua benteng Ujung Pandang dekat pintu gerbang. *10)

KaraEng Matuaya mangkat

Selanjutnya dinyatakan bahwa pada tanggal 23 Agustus 1634 KaraEng Balambaru datang menghadap Sultan Alauddin dan mempersembahkan rakyat Sula dan Banggai. Tetapi dari Luwu diperoleh kabar, bahwa rakyat larompong (Luwu) sedang mengadakan huruhara perlawanan, sehingga Tumailalang Karaeng Suli berangkat ketempat itu pada tanggal 6 Januari 1635 untuk memadamkan pemberontakan itu.

Sultan Alauddin mengadakan juga persahabatan dengan Aceh dan Mataram. Beliau disukai oleh rakyatnya karena berbudi baik dan jujur. *11)

Raja Tallo merangkap Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Matuaya mangkat pada tanggal 10 Oktober 1636 dan setelah mangkatnya di gelar juga Tumenanga ri Agamana (yang beradu dalam agamanya).

Sebagai ganti Raja Tallo maka diangkatlah puteranya yang bernama I Mangnginyarang Daeng Makkiok Sultan Muzhaffar, Tumenanga ri Timorok, sedangkan untuk jabatan Mangkubumi Kerajaan Gowa oleh Sultan Alauddin ditunjuklah puteranya yang lain yang bernama KaraEng Pattingalloang untuk menggantikannya. *12)

Sultan Alauddin mangkat

Pada tanggal 23 Juni 1637 Jenderal Antony van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Gowa. Dalam perjanjian ini orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal menetap di Makassar.

Sementara itu pada tanggal 12 Pebruari 1638 orang Mandar menyerahkan rakyat Gorontalo kepada Raja Gowa Sultan Alauddin.

Empat puluh enam tahun lamanya Sultan Alauddin memerintah Kerajaan Gowa dan memperluas kerajaannya, akhirnya mangkat pada tanggal 15 Juni 1639. Setelah mangkat, namanya diubah menjadi Tumenanga ri Gaukanna, artinya : Orang yang beradu dalam apa yang dikerjakannya (pemerintahannya). Ia diganti oleh puteranya yang bernama I Mannuntung Daeng Mattola, KaraEng Lakiung, Sultan Muhammad Said sebagai Raja Gowa yang ke-15.

Oleh : H.D. Mangemba

"Makalah ini telah diterbitkan disini secara langsung tanpa sembarang perubahan kepada bahasanya yang asal kecuali bilangan nombor nota kaki-Pengarang"

Catatan kaki :
*1) F.W. Stapel, Bongais Verdrag, J.B. Wolters, Gronigen, 1922. h.9.
*2) A. Ligtvoet, Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en aanteekeningen, B.K.I, 1880, h.86.
*3) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.83: Francois Valentyn, Out-en Nieuw Indien, derde deels tweede stuk, 1726, h.143-144.
*4) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.193.
*5) I Mamminawang Daeng Mangawing KaraEng Maroanging mangkat pada tanggal 17 Maret 1623 dan pernah menjabat pangkat Tumailalang (Menteri Istana dan Dalam Negeri) Kerajaan Gowa.
*6) A. Ligtvoet, op.cit.h.90.
*7) B. Erkelens, op. cit. h. 84: S.A. Buddingh, Geschiedenis: Het Nederlandsche Gouvernement van Makassar op het eiland Celebes T.N.I. Batavia, 1843.h.435.
*8) A. Ligtvoet, op. cit.h.93-94.
*9) B. Erkelens, op.cit.h.84: Valentyn, op.cit.146.
*10) A. Ligtvoet, op.cit.h.95-96.
*11) G.J. Wolhoff dkk, Sejarah Goa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1963,h.61.
*12) Karaeng Pattingalloang baru dilantik tanggal 18 juni 1936 sebagai Mangkubumi Kerajaan Goa.
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2010/12/perebutan-supremasi-kekuasaan-di.html

Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII (Part II)

 

Sultan Muhammad Said lahir pada tanggal 11 Desember 1607. Di beri gelar KaraEng Lakiung. Patimarang kerajaan Goa pada tanggal 13 Agustus 1624 dan dilantik menjadi Raja Goa XV pada tanggal 19 Desember 1639. (Patimarang = putra mahkota, raja muda).

KaraEng Pattingalloang

Sewaktu Sultan Muhammad Said dilantik menjadi raja, maka sebagai mangkubuminya ialah putera KaraEng Matuaya yang bernama I Mangadacinna Daeng Sitaba, KaraEng Pattingalloang, Sultan Mahmud, Tumenanga ri Bontobiraeng. Tetapi namanya yang terkenal jauh keluar dari tanah tumpah darahnya ialah KaraEng Pattingalloang itulah. Dia lahir pada tahun 1600 dan mangkat tanggal 15 september 1654 dalam kedudukannya sebagai mangkubumi kerajaan Goa dan Tallo, serta dimakamkan di Bontobiraeng, maka KaraEng Pattingalloang di gelar juga "Tumenanga ri Bontobiraeng", artinya "Yang beradu di Bontobiraeng"

Dalam buku silsilah dari raja-raja Goa terang tercatat, bahwa KaraEng Pattingalloang adalah seoarang yang bijaksana dan pandai bergaul dengan bangsa-bangsa pendatang dari berbagai-bagai negeri di benua Eropah, karena beliau mengenal juga dengan baik berbagai-bagai bahasa asing, terutama mahir sekali dalam berbahasa Portugis, Spanyol dan Latin. Dan umumnya pembesar-pembesar Goa waktu itu mahir sekali mempergunakan bahasa Portugis.

KaraEng Pattingalloang inilah yang dikarangkan syair oleh Vondel dalam sebuah globe yang terbuat dari kuningan pada tahun 1647 yang dikirimkan oleh pemerintah Belanda (De Bewintheeren der Oost Indishe Maatschappije) kepada KaraEng Pattingalloang sebagai tanda persahabatan. Begitu luas pengetahuannya dan perhatiannya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, sehingga oleh penyair Belanda Joost van den Vondel dinyatakan dalam globe yang dikirimkan itu bahwa beliau adalah seseoarang "yang otaknya selalu mencari-cari, dan seluruh dunia terlalu kecillah baginya" (Wiens al doorsnuffelende brein, en gansche weerelt valt ta kliein).

Memperluas Daerah

Pada tanggal 14 maret 1640 raja Goa Sultan Muhammad Said mengedarkan "bila-bila" (undangan) kepada raja-raja yang takluk ke padanya mengundang mereka itu datang dalam tempo sebulan dan pada tanggal 13 April 1640 Sultan Muhammad Said berlayarlah ke Luwu, kemudian ke Coro (dipulau Muna) dan terus ke Dompu, lalu kembali ke Goa. Barulah pada tanggal 18 Juni 1640 rakyat Dompu datang memperhambakan diri kepada Raja Goa Sultan Muhammad Said.

Raja Goa mengedarkan lagi "bila-bila" pada tanggal 23 September 1640 yang ditujukan kepada kerajaan-kerajaan jajahannya supaya datang dalam tempoh 35 hari dan pada tanggal 27 Oktober 1640 bertolaklah Raja Goa Sultan Muhammad Said dari Sombaopu (Makassar) untuk memerangi Walinrang. Baginda menumpang dalam kenaikannya yang bernama I Galle I Nyannyik Sangguk. Walinrang dikalahkannya pada tanggal 15 Desember 1640 setelah mengalahkan negeri Bolong yang terletak di Tanah Toraja.

Membantu Maluku

Walaupun telah ada perjanjian persahabatan antara van Diemen dengan Goa, tetapi Raja Goa dibantu oleh Raja Tallo tetap selalu memberikan bantuannya kepada Kimelaha di Luhu (Ambon) untuk memerangi Belanda. *13)

Adapun Kimelaha itu di akui oleh Sultan Alauddin (ayahanda Sultan Muhammad Said) sebagai Raja Ambon, tetapi sebaliknya Kimelaha diwajibkan membayar kepada Raja Goa wang dan harta benda sebab pertolongan yang diberikan kepadanya itu.

Pada tanggal 23 Januari 1641 maka dikirimlah lagi bala bantuan ke Ambon oleh Sultan Muhammad Said.

Bagi rakyat Ambon (Maluku) terutama dari golongan Islam, maka raja Goa dianggap sebagai satu-satunya tempat untuk meminta bantuan untuk menghadapi tindakan-tindakan Belanda di Maluku dan sebagai pelindung orang-orang Islam di tempat itu.

Kekalahan Bone di Pasempek

Dalam tahun 1640 hanyalah pembesar-pembesar kerajaan Bone dengan pengikut-pengikutnya lari dari Bone ke Goa, sebab takut kemurkaan raja Bone La Maddarammeng, yang digelar Opunna Pakkokongnge.

La Maddarammeng tidak disukai oleh rakyatnya berhubung karena dia memaksa rakyatnya untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Beberapa kebiasaan-kebiasaan lama yang masih dilakukan rakyatnya, disuruh hapusnya. Dialah juga yang memerintahkan untuk memerdekakan semua hambasahaya dalam kerajaannya.

Tindakan itu ditentang oleh bangsawang-bangsawang Bone, terutama oleh ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Makkalaure Datu Pattiro. Bahkan ibundanya inilah yang menjadi penentang utamanya. Oleh sebab itu maka disuruh serangnya Pattiro, menyebabkan ibundanya beserta beberapa pembesar lainnya lari ke Goa minta perlindungan.

Sultan Muhammmad Said memperingatkan La Maddarammeng agar memperbaiki sikapnya terhadap rakyatnya dan berusaha mendamaikan raja Bone dengan pembesar-pembesar yang lari itu, tetapi karena tidak berhasil, akhirnya Goa memerangi Bone.

Pada mulanya Wajo (sebagai sekutu Goa) yang disuruh menyerang Bone dari sebelah utara. Setelah bertempur selama 2 bulan lamanya, maka Arung Matowa Wajo La Isigajang to Bunek gugur dalam pertempuran. Maka tibalah bantuan Goa dan Sidenreng menyerang Bone.

Dinyatakan bahwa pada tanggal 8 Oktober 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said sendiri berangkat ke Agangnionjok (Tanete) untuk mengadakan peperangan dengan Bone. Jam 15.00 raja tiba di Pancana dengan 125 buah perahu beserta tentaranya. Atas bantuan orang Sidenreng yang datang memperkuat tentara Goa dan Wajo yang sedang bertempur, Bone dapat dikalahkan dan rajanya lari ke Larompong (Luwu)*14). Tetapi lasykar Goa mengejar terus sampai La Maddarammeng tertawan di Cimpu. Saudara La Maddarammeng, La Tenriaji to Senrima dapat meloloskan diri dan kembali ke Bone.

Orang Bone dengan sendirinya takluk di bawak kekuasaan Makassar dengan suatu perjanjian bahwa mereka itu tetap memegang hak-hak istimewa yang telah diberikan raja Goa kepadanya.

Sebagai pengawas maka raja Goa menempatkan Karaeng Sumanna sebagai "Jannang"*15) sedangkan Tobalang, Arung Tanete sebagai Kadi. *16) Tetapi berhubung oleh karena Karaeng Sumanna merasa kurang mampu untuk menduduki jabatan "Jannang" itu, maka atas usul Karaeng Sumanna dan disetujui oleh Sultan Muhammad Said akhirnya Arung Tobalang yang menjadi "Jannang" di Bone.

Pada tanggal 19 November 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said kembali ke Goa setelah mengalahkan kerajaan Bone dalam peperangan di Pare-Pare, sedangkan La Maddarammeng barulah pada tanggal 23 Juli 1644 berada di Makassar.

Saudara La Maddarammeng yang bernama La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya, Daeng Pabilla dan Arung Kung, mengadakan perlawanan terhadap Goa. Atas bantuan Raja Soppeng maka dalam tahun 1646 La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya telah dapat mengumpulkan suatu kekuatan yang berjumlah 70.000 orang (rakyat Bone dan Soppeng). Oleh sebab itu maka pada tanggal 18 April 1646 raja Goa berlayarlah ke Bone untuk memadamkan perlawanan itu.

Sesudah perlawanan itu dikalahkan dan pemimpin-pemimpinnya itu ditangkap, maka pada tanggal 25 Mei 1646 raja Goa Sultan Muhammad Said kembalilah dari Bone. Peperangan inilah yang dinamai dalam bahasa Bugis "Beta ri Pasempek" (Kekalahan di Pasempek)

Segala hak-hak dan kehormatan-kehormatan yang pada mulanya di biarkan dahulu kepada Bone dicabut dan seluruh negeri termasuk juga Soppeng dianggap sebagai daerah Goa (1646).*17) Sedangkan La Maddarammeng pada tanggal 19 Juni 1646 diasingkan ke Siang (Pangkaje'ne Kepulaan).

Dengan jatuhnya Bone maka Goa memerintah seluruh Sulawesi. Selain dari itu maka daerah-daerah kekuasaan dan pengaruh kerajaan Goa meliputi kerajaan-kerajaan Berau dan Kutai di Kalimantan Timur, Sangir dan Talaud, kepulauan Nusa Tenggara (kecuali Pulau Bali), Marege (Australia Utara) dan kepulauan Maluku Selatan (kecuali Ambon dan Banda).

Hal inilah yang menyebabkan kegelisahan dan menimbulkan kesukaran yang dialami oleh Kompeni Belanda dalam perdagangannya di Maluku. Sebgaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya mengenai penyerangan yang hebat yeng terjadi terhadap Hitu dan Wawani dalam tahun 1643 dan selanjutnya terjadi berulang-ulang kali dilakukan oleh Makassar, penyebab utama ialah tujuan menghalang-halangi pemusnahan tanaman cengkeh di tempat itu yang dilakukan oleh Belanda. *18)

Arung Palakka

Setelah peperangan di Pasempek berakhir, maka raja Goa Sultan Muhammad Said mengadakan pertemuan dengan sekutu-sekutunya, yaitu, dengan Arung Matoa Wajo La Makkaraka Tapatemoui Matinroe ri Pangaranna dan Datu Luwu La Palisbunga Daeng Mattuju Sultan Ahmad Nazaruddin Matinroe ri Goa. Dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa orang-orang Bone yang ditawan karena peperangan itu harus dibagi sama banyak diantara ketiga Raja itu. *19)

Diantara tawanan-tawanan pemberontak Bone itu, maka terdapat seorang Bangsawan muda yang bernama La Tenritatta Toaputunru Arung Palakka, yang dilahirkan di Lamatta (Soppeng) pada tanggal 15 September 1634 *20), ibunya bernama We Tenrisuik Datu Mario ri Wawo putri raja Bone La Tenrirua Sultan Adam yang mangkat di Bantaeng. We Tenrisuik digelar juga Arung Palakka Pattiro karena meratui daerah Palakka wilayah Bone.

Sifat-sifat Sultan Muhammad Said

Sultan Muhammad Said seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tuanya, dijunjung tinggi oleh anak buahnya, tahu membalas budi serta tidak memperbeda-bedakan antara orang Bangsawan dengan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai seorang yang memperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur di Manila, Raja Muda di Goa (India), Presiden di Keling (Koromandel), Merchante (saudagar) di Mezulipatan. Bersahabat dengan raja Inggris, raja Portugal, raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula memberikan gelran Sultan Muhammad Said karena memang nama Arabnya : Malikussaid. *21)

Selanjutnya oleh Sultan Muhammad Said tetap dilanjutkan persahabatan dengan raja-raja Nusantara lainnya, sebagaimana yang telah di bina oleh ayahanda baginda Sultan Alauddin seperti : Bali, Aceh, Banten, dan Mataram.

Pada tanggal 3 September 1646 Sultan Muhammad Said mengawinkan puterinya yang bernama Karaeng Bontojekne dengan Sultan Bima Iyam-Bela dan dalam tahun 1646 ini juga Sultan Muhammad Said mengalahkan Mandar dan rakyat-rakyat lainnya yang belum takluk kepadanya. Diadakannya hakim-hakim untuk mengadili bangsa-bangsa Eropah (1651) yang akan memutuskan segala perkara yang menyangkut dengan orang-orang Eropah. *22)

Pertempuran Laut Makassar-Belanda

Pada tanggal 5 November 1651 bangsa Belanda memajukan permohonan untuk meminta tanah Ambon dari Raja Goa, supaya Goa melepaskan diri dari turut campur tangan dalam masalah Ambon. Dan dalam satu pertempuran laut di dekat pulau Buru, angkatan laut Belandadi bawah pimpinan laksamana de Vlaming telah membinasakan 40 buah perahu perang orang Makassar. Dalam pertempuran ini orang Makassar di serang oleh Belanda bersama-sama dengan orang Ternate.

Orang Ternate pada waktu itu membantu Belanda berhubung oleh karena telah di taklukkannya daerah-daerah Ternate di Sulawesi Utara oleh Goa, sedangkan Raja Goa menaklukkan daerah-daerah itu setelah raja Ternate memberikan hak monopoli cengkeh kepada Belanda di pulau Ambon.

Berhubung dengan terjadinya pertempuran-pertempuran laut antara Goa dengan Belanda di perairan Maluku, maka terdapat gejala kemungkinan penyerangan Belanda di Sulawesi. Itulah sebabnya maka di utuslah Karaeng Katapang pada tanggal 3 Juli 1652 ketanah Mandar untuk membuat pertahanan-pertahanan di tempat itu. Dan pada tanggal 21 November 1652 diterimalah surat dari rakyat Ternate yang dipersembahkan kepada raja Goa, bahwa Sultan Mandarsyah telah diturunkan dari takhta kerajaannya dan digantikan oleh saudaranya yang bernama Manila.

Berhubung dengan gentingnya keadaan di Ambon, maka diutuslah Daeng ri Bulekang pada tanggal 29 November 1652 dengan sebuah angkatan perang untuk menolong rakyat ditempat itu yang mengadakan perlawanan pada rajanya yang telah bersekutu dengan Belanda.

Pada tanggal 27 Mac 1653 muncullah armada Makassar yang terdir dari lebih 100 buah perahu-perang di peraiaran Ambon untuk menyerang dan melemahkan kedudukan orang Belanda di Ambon. Tetapi armada Belanda dibawah pimpinan de Vlaming pada waktu itu telah berada di Buton dan disinilah kedua armada itu bertemu. Dan menurut pihak Belanda, bahwa dalam pertempuran itu tidak ada pihak yang menang atau kalah, berhubung karena malam terlalu gelap menyebabkan usaha Belanda untuk memberiakan kerugian besar kepada armada Makassar tidak tercapai. *23)

Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam tahun ini juga (1653) Goa bersekutu dengan Ternate melawan Belanda, maka bertempurlah angkatan laut Belanda dengan angkatan laut Makassar di perairan Ternate.

Pemimpin pemberontakan di Maluku ialah Majira dalam bulan Januari 1653 telah berangkat kembali ke Maluku dari Makassar dengan membawa 30 buah perahu bersenjata lengkap. Selanjutnyakira-kira sebulan kemudian, Arnold de Vlaming tiba juga di Makassar. Ia berusaha untuk menggerakkan hati raja supaya mengirim perutusan bersamanya ke Betawi untuk mengakhiri tegang keadaan antara Makassar denga Kompeni Belanda. Raja menolak hal itu, tetapi menyerahkan sebuah surat untuk Gubernur Jenderal Maetsuyker. Ternyata surat yang dibawah de Vlaming itu hanya bersifat pemberitahuan, bahwa raja ini hidup damai dengan Kompeni, tetapi mengemukakan disampin itu permintaannya supaya rakyat Islam Ambon dan Seram, yang "telah bersedia menyerahkan diri kedalam tangan kita untuk dilindungi hidup dan kepercayaannya" turut dalam perdamaian. Juga disamaikan bahwa ia (raja) akan mengirimkan perutusan ke Ambon untuk menjujungi daerah-daerah dan rakyat tersebut itu tadi.

Bagi Maetsuyker dan dewannya, tulisan ini merupakan suatu "casus belli" dimana raja meninggikan diri sebagai pelindung rakyat yang berada dibawah Kompeni. Dan dalam sidangnya 21 Oktober 1653 mereka memutuskan memaklumkan perang kepada Makassar dan mengadakan persiapan-persiapan yang perlu.

Pertempuran yang sungguh-sungguh terjadi lebih pagi dari yang Belanda sangkakan, karena belum tahun berakhir telah terlibat dalam pertempuran 2 buah kapal Kompeni dalam perjalanan dari Betawi ke Ambon dengan 19 buah perahu-perahu Makassar dekat ujung timur Buton. Walaupun perahu-perahu Makassar itu mengalami kerugian besar, namun berhasil juga menangkap 5 orang Belanda dan membawanya ke Makassar.

Dengan ini dimulailah pertempuran yang dilakukan diberbagai tempat. Majira memimpin pemberontakan terhadap Kompeni di Seram, dimana dia mendapat sokongan ratusan orang-orang Makassar. *24)

Sultan Muhammad Said Mangkat

Pada tanggal 5 November 1653 Sultan Muhammad Said Mangkat mangkat dan di gantikan oleh puteranya yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.

Sultan Muhammad Said setelah mangkatnya di gelar juga Tumenanga ri Papanbatuna, orang yang beradu di batu tulisnya, berhubung oleh karena beliau amat pandai sekali menulis huruf Makassar dan huruf Arab dengan bagus dan dengan indahnya. Terlebih-lebih lagi karena beliau memang seorang yang gemar sekali belajar dan menulis.

Dan dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Goa XVI perebutan supremasi kekuasaan di Indonesia Timur masih terus berlangsung antara kerajaan Goa di satu pihak dengan Kompeni Belanda di pihak lainnya.


Catatan kaki :
*13) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.84
*14) B. Erkelens, op.cit.h.85
*15) "jannang" berarti pengawas, komisaris (kerajaan Goa di Bone)
*16) G.J. Wolhoff dkk, Sejarah Goa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1963,h.71.
*17) Menurut B. Erkelens, op.cit.h.85, ialah tahun 1643. Tetapi menurut buku harian Kerajaan Goa dan Tallo ialah tahun 1646 (A. Ligtvoet, Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en aanteekeningen, B.K.I, 1880, h.107).
*18) B. Erkelens, op.cit
*19) Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1971,h.35.
*20) A. Ligtvoet, op.cit.h.95.
*21) G.J. Wolhoff, op.cit.h.69-70.
*22) A. Ligtvoet, op.cit.h.111.
*23) B. Erkelens, op.cit.h.85.
*24) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.331-332.
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2011/01/perebutan-supremasi-kekuasaan-di.html

Galle Riwayatmu Kini

Selain jenis perahu Phinisi yang dikenal sekarang ini, Kerajaan Gowa pernah memiliki ribuan perahu jenis "Galle" yang mempunyai desain cantik menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa, seperti I Galle I Nyannyik Sangguk yang pernah ditumpangi oleh Baginda Sultan Muhammad Said (Sultan Malikussaid) dalam memerangi Walinrang dan negeri Bolong di Tanah Toraja.

Perahu Galle Kerajaan Gowa dahulu, konstruksinya bertingkat dengan panjang mencapai 40 meter dan lebar 6 meter. Tiang layar besar dilengkapi pendayung 200 hingga 400 orang. Setiap perahu Galle diberi nama tersendiri. Seperti I Galle Dondona Ralle Cappaga panjang 25 depa (kurang lebih 35 m), I Galle I Nyannyik Sangguk dan I Galle Mangking Naiya, panjang 15 depa (kurang lebih 27 m), I Galle kalabiu, I Galle Galelangan, I Galle Barang Mamase, I Galle Siga, dan I Galle Uwanngang dengan panjang masing-masing 13 depa atau sekitar 23 meter.

Disamping itu terdapat pula jenis-jenis perahu yang dibuat untuk kepentingan tertentu, seperti jenis perahu Binta untuk penyergapan, perahu Palari sebagai alat pengontrol wilayah kekuasaan di perairan dan pesisir pantai, perahu Padewakang untuk kepentingan dagang, perahu Banawa untuk mengangkut binatang ternak, perahu Palimbang khusus angkutan penumpang antarpulau, perahu Pajala bagi nelayan penangkap ikan, perahu Birowang dan perahu Bilolang untuk mengangkut penumpang jarak dekat.

Dengan memiliki armada perahu yang besar dan tangguh, maka tak heran jika wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian timur, seluruh Sulawesi, Sangir-Talaud-Pegu-Mindanao di bagian utara, Sula-Dobo-Buru-Kepulauan Aru (Maluku) di sebelah timur, Marege (Australia Utara)-Timor -Sumba-Flores-Sumbawa-Lombok (Nusa Tenggara) di sebelah selatan, dan Kutai dan Berau (Kalimantan Timur) di sebelah Barat.

Tercatat dalam Lontara Bilang Gowa, pada 30 April 1655, Sultan Hasanuddin berkayuh ke Mandar terus ke Kaili dikawal 183 perahu. Perjalanan Sultan Hasanuddin ke Maros, 29 Desember 1659 dikawal 239 perahu. Ketika ke Sawitto 8 Nopember 1661 dikawal 185 perahu. Sebanyak 450 perahu digunakan mengangkut sekitar 15.000 lasykar Kerajaan Gowa ke Pulau Buton pada bulan Oktober 1666.

Selain sebagai armada perang, juga digunakan untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, juga dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, dan Gujarat.



Sumber : http://adhiehr.blogspot.com/2011/01/galle-riwayatmu-kini.html

Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII (Part II)1

 

Sultan Muhammad Said lahir pada tanggal 11 Desember 1607. Di beri gelar KaraEng Lakiung. Patimarang kerajaan Goa pada tanggal 13 Agustus 1624 dan dilantik menjadi Raja Goa XV pada tanggal 19 Desember 1639. (Patimarang = putra mahkota, raja muda).

KaraEng Pattingalloang

Sewaktu Sultan Muhammad Said dilantik menjadi raja, maka sebagai mangkubuminya ialah putera KaraEng Matuaya yang bernama I Mangadacinna Daeng Sitaba, KaraEng Pattingalloang, Sultan Mahmud, Tumenanga ri Bontobiraeng. Tetapi namanya yang terkenal jauh keluar dari tanah tumpah darahnya ialah KaraEng Pattingalloang itulah. Dia lahir pada tahun 1600 dan mangkat tanggal 15 september 1654 dalam kedudukannya sebagai mangkubumi kerajaan Goa dan Tallo, serta dimakamkan di Bontobiraeng, maka KaraEng Pattingalloang di gelar juga "Tumenanga ri Bontobiraeng", artinya "Yang beradu di Bontobiraeng"

Dalam buku silsilah dari raja-raja Goa terang tercatat, bahwa KaraEng Pattingalloang adalah seoarang yang bijaksana dan pandai bergaul dengan bangsa-bangsa pendatang dari berbagai-bagai negeri di benua Eropah, karena beliau mengenal juga dengan baik berbagai-bagai bahasa asing, terutama mahir sekali dalam berbahasa Portugis, Spanyol dan Latin. Dan umumnya pembesar-pembesar Goa waktu itu mahir sekali mempergunakan bahasa Portugis.

KaraEng Pattingalloang inilah yang dikarangkan syair oleh Vondel dalam sebuah globe yang terbuat dari kuningan pada tahun 1647 yang dikirimkan oleh pemerintah Belanda (De Bewintheeren der Oost Indishe Maatschappije) kepada KaraEng Pattingalloang sebagai tanda persahabatan. Begitu luas pengetahuannya dan perhatiannya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, sehingga oleh penyair Belanda Joost van den Vondel dinyatakan dalam globe yang dikirimkan itu bahwa beliau adalah seseoarang "yang otaknya selalu mencari-cari, dan seluruh dunia terlalu kecillah baginya" (Wiens al doorsnuffelende brein, en gansche weerelt valt ta kliein).

Memperluas Daerah

Pada tanggal 14 maret 1640 raja Goa Sultan Muhammad Said mengedarkan "bila-bila" (undangan) kepada raja-raja yang takluk ke padanya mengundang mereka itu datang dalam tempo sebulan dan pada tanggal 13 April 1640 Sultan Muhammad Said berlayarlah ke Luwu, kemudian ke Coro (dipulau Muna) dan terus ke Dompu, lalu kembali ke Goa. Barulah pada tanggal 18 Juni 1640 rakyat Dompu datang memperhambakan diri kepada Raja Goa Sultan Muhammad Said.

Raja Goa mengedarkan lagi "bila-bila" pada tanggal 23 September 1640 yang ditujukan kepada kerajaan-kerajaan jajahannya supaya datang dalam tempoh 35 hari dan pada tanggal 27 Oktober 1640 bertolaklah Raja Goa Sultan Muhammad Said dari Sombaopu (Makassar) untuk memerangi Walinrang. Baginda menumpang dalam kenaikannya yang bernama I Galle I Nyannyik Sangguk. Walinrang dikalahkannya pada tanggal 15 Desember 1640 setelah mengalahkan negeri Bolong yang terletak di Tanah Toraja.

Membantu Maluku

Walaupun telah ada perjanjian persahabatan antara van Diemen dengan Goa, tetapi Raja Goa dibantu oleh Raja Tallo tetap selalu memberikan bantuannya kepada Kimelaha di Luhu (Ambon) untuk memerangi Belanda. *13)

Adapun Kimelaha itu di akui oleh Sultan Alauddin (ayahanda Sultan Muhammad Said) sebagai Raja Ambon, tetapi sebaliknya Kimelaha diwajibkan membayar kepada Raja Goa wang dan harta benda sebab pertolongan yang diberikan kepadanya itu.

Pada tanggal 23 Januari 1641 maka dikirimlah lagi bala bantuan ke Ambon oleh Sultan Muhammad Said.

Bagi rakyat Ambon (Maluku) terutama dari golongan Islam, maka raja Goa dianggap sebagai satu-satunya tempat untuk meminta bantuan untuk menghadapi tindakan-tindakan Belanda di Maluku dan sebagai pelindung orang-orang Islam di tempat itu.

Kekalahan Bone di Pasempek

Dalam tahun 1640 hanyalah pembesar-pembesar kerajaan Bone dengan pengikut-pengikutnya lari dari Bone ke Goa, sebab takut kemurkaan raja Bone La Maddarammeng, yang digelar Opunna Pakkokongnge.

La Maddarammeng tidak disukai oleh rakyatnya berhubung karena dia memaksa rakyatnya untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Beberapa kebiasaan-kebiasaan lama yang masih dilakukan rakyatnya, disuruh hapusnya. Dialah juga yang memerintahkan untuk memerdekakan semua hambasahaya dalam kerajaannya.

Tindakan itu ditentang oleh bangsawang-bangsawang Bone, terutama oleh ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Makkalaure Datu Pattiro. Bahkan ibundanya inilah yang menjadi penentang utamanya. Oleh sebab itu maka disuruh serangnya Pattiro, menyebabkan ibundanya beserta beberapa pembesar lainnya lari ke Goa minta perlindungan.

Sultan Muhammmad Said memperingatkan La Maddarammeng agar memperbaiki sikapnya terhadap rakyatnya dan berusaha mendamaikan raja Bone dengan pembesar-pembesar yang lari itu, tetapi karena tidak berhasil, akhirnya Goa memerangi Bone.

Pada mulanya Wajo (sebagai sekutu Goa) yang disuruh menyerang Bone dari sebelah utara. Setelah bertempur selama 2 bulan lamanya, maka Arung Matowa Wajo La Isigajang to Bunek gugur dalam pertempuran. Maka tibalah bantuan Goa dan Sidenreng menyerang Bone.

Dinyatakan bahwa pada tanggal 8 Oktober 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said sendiri berangkat ke Agangnionjok (Tanete) untuk mengadakan peperangan dengan Bone. Jam 15.00 raja tiba di Pancana dengan 125 buah perahu beserta tentaranya. Atas bantuan orang Sidenreng yang datang memperkuat tentara Goa dan Wajo yang sedang bertempur, Bone dapat dikalahkan dan rajanya lari ke Larompong (Luwu)*14). Tetapi lasykar Goa mengejar terus sampai La Maddarammeng tertawan di Cimpu. Saudara La Maddarammeng, La Tenriaji to Senrima dapat meloloskan diri dan kembali ke Bone.

Orang Bone dengan sendirinya takluk di bawak kekuasaan Makassar dengan suatu perjanjian bahwa mereka itu tetap memegang hak-hak istimewa yang telah diberikan raja Goa kepadanya.

Sebagai pengawas maka raja Goa menempatkan Karaeng Sumanna sebagai "Jannang"*15) sedangkan Tobalang, Arung Tanete sebagai Kadi. *16) Tetapi berhubung oleh karena Karaeng Sumanna merasa kurang mampu untuk menduduki jabatan "Jannang" itu, maka atas usul Karaeng Sumanna dan disetujui oleh Sultan Muhammad Said akhirnya Arung Tobalang yang menjadi "Jannang" di Bone.

Pada tanggal 19 November 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said kembali ke Goa setelah mengalahkan kerajaan Bone dalam peperangan di Pare-Pare, sedangkan La Maddarammeng barulah pada tanggal 23 Juli 1644 berada di Makassar.

Saudara La Maddarammeng yang bernama La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya, Daeng Pabilla dan Arung Kung, mengadakan perlawanan terhadap Goa. Atas bantuan Raja Soppeng maka dalam tahun 1646 La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya telah dapat mengumpulkan suatu kekuatan yang berjumlah 70.000 orang (rakyat Bone dan Soppeng). Oleh sebab itu maka pada tanggal 18 April 1646 raja Goa berlayarlah ke Bone untuk memadamkan perlawanan itu.

Sesudah perlawanan itu dikalahkan dan pemimpin-pemimpinnya itu ditangkap, maka pada tanggal 25 Mei 1646 raja Goa Sultan Muhammad Said kembalilah dari Bone. Peperangan inilah yang dinamai dalam bahasa Bugis "Beta ri Pasempek" (Kekalahan di Pasempek)

Segala hak-hak dan kehormatan-kehormatan yang pada mulanya di biarkan dahulu kepada Bone dicabut dan seluruh negeri termasuk juga Soppeng dianggap sebagai daerah Goa (1646).*17) Sedangkan La Maddarammeng pada tanggal 19 Juni 1646 diasingkan ke Siang (Pangkaje'ne Kepulaan).

Dengan jatuhnya Bone maka Goa memerintah seluruh Sulawesi. Selain dari itu maka daerah-daerah kekuasaan dan pengaruh kerajaan Goa meliputi kerajaan-kerajaan Berau dan Kutai di Kalimantan Timur, Sangir dan Talaud, kepulauan Nusa Tenggara (kecuali Pulau Bali), Marege (Australia Utara) dan kepulauan Maluku Selatan (kecuali Ambon dan Banda).

Hal inilah yang menyebabkan kegelisahan dan menimbulkan kesukaran yang dialami oleh Kompeni Belanda dalam perdagangannya di Maluku. Sebgaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya mengenai penyerangan yang hebat yeng terjadi terhadap Hitu dan Wawani dalam tahun 1643 dan selanjutnya terjadi berulang-ulang kali dilakukan oleh Makassar, penyebab utama ialah tujuan menghalang-halangi pemusnahan tanaman cengkeh di tempat itu yang dilakukan oleh Belanda. *18)

Arung Palakka

Setelah peperangan di Pasempek berakhir, maka raja Goa Sultan Muhammad Said mengadakan pertemuan dengan sekutu-sekutunya, yaitu, dengan Arung Matoa Wajo La Makkaraka Tapatemoui Matinroe ri Pangaranna dan Datu Luwu La Palisbunga Daeng Mattuju Sultan Ahmad Nazaruddin Matinroe ri Goa. Dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa orang-orang Bone yang ditawan karena peperangan itu harus dibagi sama banyak diantara ketiga Raja itu. *19)

Diantara tawanan-tawanan pemberontak Bone itu, maka terdapat seorang Bangsawan muda yang bernama La Tenritatta Toaputunru Arung Palakka, yang dilahirkan di Lamatta (Soppeng) pada tanggal 15 September 1634 *20), ibunya bernama We Tenrisuik Datu Mario ri Wawo putri raja Bone La Tenrirua Sultan Adam yang mangkat di Bantaeng. We Tenrisuik digelar juga Arung Palakka Pattiro karena meratui daerah Palakka wilayah Bone.

Sifat-sifat Sultan Muhammad Said

Sultan Muhammad Said seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tuanya, dijunjung tinggi oleh anak buahnya, tahu membalas budi serta tidak memperbeda-bedakan antara orang Bangsawan dengan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai seorang yang memperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur di Manila, Raja Muda di Goa (India), Presiden di Keling (Koromandel), Merchante (saudagar) di Mezulipatan. Bersahabat dengan raja Inggris, raja Portugal, raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula memberikan gelran Sultan Muhammad Said karena memang nama Arabnya : Malikussaid. *21)

Selanjutnya oleh Sultan Muhammad Said tetap dilanjutkan persahabatan dengan raja-raja Nusantara lainnya, sebagaimana yang telah di bina oleh ayahanda baginda Sultan Alauddin seperti : Bali, Aceh, Banten, dan Mataram.

Pada tanggal 3 September 1646 Sultan Muhammad Said mengawinkan puterinya yang bernama Karaeng Bontojekne dengan Sultan Bima Iyam-Bela dan dalam tahun 1646 ini juga Sultan Muhammad Said mengalahkan Mandar dan rakyat-rakyat lainnya yang belum takluk kepadanya. Diadakannya hakim-hakim untuk mengadili bangsa-bangsa Eropah (1651) yang akan memutuskan segala perkara yang menyangkut dengan orang-orang Eropah. *22)

Pertempuran Laut Makassar-Belanda

Pada tanggal 5 November 1651 bangsa Belanda memajukan permohonan untuk meminta tanah Ambon dari Raja Goa, supaya Goa melepaskan diri dari turut campur tangan dalam masalah Ambon. Dan dalam satu pertempuran laut di dekat pulau Buru, angkatan laut Belandadi bawah pimpinan laksamana de Vlaming telah membinasakan 40 buah perahu perang orang Makassar. Dalam pertempuran ini orang Makassar di serang oleh Belanda bersama-sama dengan orang Ternate.

Orang Ternate pada waktu itu membantu Belanda berhubung oleh karena telah di taklukkannya daerah-daerah Ternate di Sulawesi Utara oleh Goa, sedangkan Raja Goa menaklukkan daerah-daerah itu setelah raja Ternate memberikan hak monopoli cengkeh kepada Belanda di pulau Ambon.

Berhubung dengan terjadinya pertempuran-pertempuran laut antara Goa dengan Belanda di perairan Maluku, maka terdapat gejala kemungkinan penyerangan Belanda di Sulawesi. Itulah sebabnya maka di utuslah Karaeng Katapang pada tanggal 3 Juli 1652 ketanah Mandar untuk membuat pertahanan-pertahanan di tempat itu. Dan pada tanggal 21 November 1652 diterimalah surat dari rakyat Ternate yang dipersembahkan kepada raja Goa, bahwa Sultan Mandarsyah telah diturunkan dari takhta kerajaannya dan digantikan oleh saudaranya yang bernama Manila.

Berhubung dengan gentingnya keadaan di Ambon, maka diutuslah Daeng ri Bulekang pada tanggal 29 November 1652 dengan sebuah angkatan perang untuk menolong rakyat ditempat itu yang mengadakan perlawanan pada rajanya yang telah bersekutu dengan Belanda.

Pada tanggal 27 Mac 1653 muncullah armada Makassar yang terdir dari lebih 100 buah perahu-perang di peraiaran Ambon untuk menyerang dan melemahkan kedudukan orang Belanda di Ambon. Tetapi armada Belanda dibawah pimpinan de Vlaming pada waktu itu telah berada di Buton dan disinilah kedua armada itu bertemu. Dan menurut pihak Belanda, bahwa dalam pertempuran itu tidak ada pihak yang menang atau kalah, berhubung karena malam terlalu gelap menyebabkan usaha Belanda untuk memberiakan kerugian besar kepada armada Makassar tidak tercapai. *23)

Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam tahun ini juga (1653) Goa bersekutu dengan Ternate melawan Belanda, maka bertempurlah angkatan laut Belanda dengan angkatan laut Makassar di perairan Ternate.

Pemimpin pemberontakan di Maluku ialah Majira dalam bulan Januari 1653 telah berangkat kembali ke Maluku dari Makassar dengan membawa 30 buah perahu bersenjata lengkap. Selanjutnyakira-kira sebulan kemudian, Arnold de Vlaming tiba juga di Makassar. Ia berusaha untuk menggerakkan hati raja supaya mengirim perutusan bersamanya ke Betawi untuk mengakhiri tegang keadaan antara Makassar denga Kompeni Belanda. Raja menolak hal itu, tetapi menyerahkan sebuah surat untuk Gubernur Jenderal Maetsuyker. Ternyata surat yang dibawah de Vlaming itu hanya bersifat pemberitahuan, bahwa raja ini hidup damai dengan Kompeni, tetapi mengemukakan disampin itu permintaannya supaya rakyat Islam Ambon dan Seram, yang "telah bersedia menyerahkan diri kedalam tangan kita untuk dilindungi hidup dan kepercayaannya" turut dalam perdamaian. Juga disamaikan bahwa ia (raja) akan mengirimkan perutusan ke Ambon untuk menjujungi daerah-daerah dan rakyat tersebut itu tadi.

Bagi Maetsuyker dan dewannya, tulisan ini merupakan suatu "casus belli" dimana raja meninggikan diri sebagai pelindung rakyat yang berada dibawah Kompeni. Dan dalam sidangnya 21 Oktober 1653 mereka memutuskan memaklumkan perang kepada Makassar dan mengadakan persiapan-persiapan yang perlu.

Pertempuran yang sungguh-sungguh terjadi lebih pagi dari yang Belanda sangkakan, karena belum tahun berakhir telah terlibat dalam pertempuran 2 buah kapal Kompeni dalam perjalanan dari Betawi ke Ambon dengan 19 buah perahu-perahu Makassar dekat ujung timur Buton. Walaupun perahu-perahu Makassar itu mengalami kerugian besar, namun berhasil juga menangkap 5 orang Belanda dan membawanya ke Makassar.

Dengan ini dimulailah pertempuran yang dilakukan diberbagai tempat. Majira memimpin pemberontakan terhadap Kompeni di Seram, dimana dia mendapat sokongan ratusan orang-orang Makassar. *24)

Sultan Muhammad Said Mangkat

Pada tanggal 5 November 1653 Sultan Muhammad Said Mangkat mangkat dan di gantikan oleh puteranya yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.

Sultan Muhammad Said setelah mangkatnya di gelar juga Tumenanga ri Papanbatuna, orang yang beradu di batu tulisnya, berhubung oleh karena beliau amat pandai sekali menulis huruf Makassar dan huruf Arab dengan bagus dan dengan indahnya. Terlebih-lebih lagi karena beliau memang seorang yang gemar sekali belajar dan menulis.

Dan dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Goa XVI perebutan supremasi kekuasaan di Indonesia Timur masih terus berlangsung antara kerajaan Goa di satu pihak dengan Kompeni Belanda di pihak lainnya.


Catatan kaki :
*13) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.84
*14) B. Erkelens, op.cit.h.85
*15) "jannang" berarti pengawas, komisaris (kerajaan Goa di Bone)
*16) G.J. Wolhoff dkk, Sejarah Goa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1963,h.71.
*17) Menurut B. Erkelens, op.cit.h.85, ialah tahun 1643. Tetapi menurut buku harian Kerajaan Goa dan Tallo ialah tahun 1646 (A. Ligtvoet, Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en aanteekeningen, B.K.I, 1880, h.107).
*18) B. Erkelens, op.cit
*19) Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1971,h.35.
*20) A. Ligtvoet, op.cit.h.95.
*21) G.J. Wolhoff, op.cit.h.69-70.
*22) A. Ligtvoet, op.cit.h.111.
*23) B. Erkelens, op.cit.h.85.
*24) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.331-332.
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2011/01/perebutan-supremasi-kekuasaan-di.html

Sejarah Berdirinya Toddo Limaya di Maros

 

Setelah Karaeng Assakayai Binangaya menghilang (assayang) bersama dengan istrinya. Selanjutnya, posisinya digantikan oleh Karaeng Barasa sebagai penguasa di Maros.

Karaeng Barasa memperistri I Basse Nguakeng. Nama Paddaenganna Daeng Bulaeng. Beliau yang dipanggil dengan Karaeng Baineya. Mempunyai satu orang anak laki-laki bernama Kare Yunusu. Karaeng Barasa menghilang (assayangi) karena adiknya. Pada saat Dala Marusu, dinikahi oleh Arumpone, Matinroe ri Nagauleng. Dengan sebab : dikatakannya [bahwa sudah kecil betullah Maros karena sudah diperistrikanlah oleh Bone]. Karaeng Barasa adalah Karaeng pertama yang mengangkat seorang Kadi di Maros. Anaknya Kare Yunusu yang Ia pasang atau yang Ia angkat sebagai Kadi karena Ia memuji bahwa anaknya itu sebagai orang yang benar-benar adil juga kuat agamanya. Karaeng Barasa menghilang (assayangi) bersama istrinya. Selanjutnya Kare Yunusu yang mewarisi takhta, karena dia adalah anak tunggal.

Kare Yunusu, anak dari Karaeng Barasa, Ia adalah Kadi Maros dan juga Karaeng Maros. Setelah menjadi penguasa (Karaeng), ia menyerahkan jabatan Kadi-Nya kepada anaknya, yang bernama Kare Lame. Pada saat pemerintahan Kare Yunusu inilah orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di tanah Maros, dibawa oleh orang Bone, Ketika [orang Bone] ingin menghancurkan Somba Opu. Pada saat itu pulalah [setelah perang], tanah Maros pun dikuasai oleh orang Bone. Pada saat itulah Kare Yunusu meninggal, setelah memberikan kekuasaannya kepada Arumpone. Dengan syarat agar yang menjadi Karaeng adalah anggota keluarganya yang di Bone bernama La Mamma Daeng Marewa, anak dari Lo'mo Tamate Marusu Abdullah Kadere. Dia adalah merupakan keponakan Karaeng Maros Kare Yunusu, sebab Ia adalah cucu dari Arumpone Matinroe ri Nagauleng, dari istrinya yang bernama Siti Maemuna Dala Marusuq, anak dari Karaeng Assakayai Binangaya di Maros.

La Mamma Daeng Marewa adalah anak dari Lo'mo Tamate Abdullah Kadere. Ia adalah anak dari La Magumete Arung Sinri, ibunya, dan ayahnya adalah I Magoro Arung Galung Soppeng. La Magumete Arung Sinri adalah anak dari Arumpone Matinroe ri Nagauleng, nama pribadinya, semoga saya tidak terkutuk, adalah La Patau Mattana Tika. Dari istrinya yang bernama Siti Maemuna Dala Marusu. Pada saat kepemimpinan La Mamma Daeng Marewa inilah, Maros untuk pertama kalinya menjadi pengikut Bone (Palili Bone). Pada saat ini pulalah kampung Simbang didirikan. Bontoa didirikan. Tanralili didirikan. Raya didirikan. Karaeng inilah yang pertama membuat Toddo Limaya di Maros. La Mamma Daeng Marewa-lah Karaeng di Maros yang memanggil para pengikut Karaeng Bone (Palili Bone) dan Goa (Palili Goa) yang terletak dekat dengan tanah Maros untuk bersatu karena ketidaksukaannya dengan kehadiran Belanda di Maros. Pada awalnya seluruh Karaeng yang dipanggil itu tidak mau, karena mereka mengatakan Karaeng Maros hanya ingin mengambil [kendali] seluruh masyarakat (wilayah) yang dekat dengan tanah Maros. Namun Bone sudah keluar untuk menyerang Goa ketika I Sangkilang Batara Goa berada di Maros, pada akhirnya Belanda-lah yang menggantikan Goa dan Bone berkuasa (memerintah) di Maros berikut seluruh wilayah yang terletak dekat dengan Maros : Simbang, Bontoa, Raya, dan Tanralili. Sebab itulah seluruh Karaeng mulai ingin bersatu menjadi satu kesatuan. Karena itu dikatakanlah Toddo Limaya ri Maros, oleh karena kelima Karaeng ini tidak dapat dipisahkan.** Wassalam, Semoga manfaat...

Sumber : http://adhiehr.blogspot.com/2011/02/sejarah-berdirinya-todo-limaya-di-maros.html

Catatan dari Negeri Para Pelaut Ulung

Takunjunga' Bangunturu', Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na Toalia [Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, Dan aku putar kemudiku, Lebih baik aku pilih tenggelam dari pada balik haluan].

Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang [Ketika perahuku kudorong, Ketika layarku kupasang, Aku takkan menggulungnya kalau bukan labuhan].

Demikian Falsafah Hidup Orang Makassar. Dari falsafah ini sudah dapat dilihat betapa kehidupan orang-orang Makassar begitu dekat bahkan sangat dekat dengan yang namanya laut. Maka tak heran jika orang-orang Makassar dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung.

Sebelum kedatangan orang Eropa, orang Makassar sudah dikenal sebagai pelaut ulung. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian orang Makassar menguasai laut dengan layar. Diantaranya adalah keterangan dari Tome Pires yang juga dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua yang bisa ditemukan. Pires mengemukakan : “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.

Oleh Pelras, Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi mereka. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika mereka di perhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang di anutnya.

Disamping itu Kerajaan Makassar [Gowa-Tallo] juga dikenal sebagai kerajaan yang pernah mempunyai kekuatan armada laut yang besar dan di segani.

Oleh Antonio de Paiva seorang pelaut portugis mencatat pertemuannya dengan Baginda Sultan Malikkussaid (Raja Gowa ke 15) yang dikawal tidak kurang dari 1182 [seribu seratus delapan puluh dua] kapal perang Kerajaan Gowa-Tallo yang menyertai Baginda Sultan Malikussaid saat melakukan pelayaran ke daerah Maje'ne.

Selain itu dalam Lontara Bilang Gowa, tercatat pada 30 April 1655, Sultan Hasanuddin berkayuh ke Mandar terus ke Kaili dikawal 183 perahu. Perjalanan Sultan Hasanuddin ke Maros, 29 Desember 1659 dikawal 239 perahu. Ketika ke Sawitto 8 Nopember 1661 dikawal 185 perahu. Sebanyak 450 perahu digunakan mengangkut sekitar 15.000 lasykar Kerajaan Gowa ke Pulau Buton pada bulan Oktober 1666.

Kebesaran armada laut Kerajaan Gowa dahulu didukung oleh armada perahu yang besar dan tangguh. Selain jenis perahu Phinisi yang dikenal sekarang ini, Kerajaan Gowa pernah memiliki ribuan perahu jenis "Galle" yang mempunyai desain cantik menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa, seperti I Galle I Nyannyik Sangguk yang pernah ditumpangi oleh Baginda Sultan Muhammad Said [Sultan Malikussaid] dalam pelayarannya ke Walinrang dan negeri Bolong di Tanah Toraja.

Perahu Galle Kerajaan Gowa dahulu, konstruksinya bertingkat dengan panjang mencapai 40 meter dan lebar 6 meter. Tiang layar besar dilengkapi pendayung 200 hingga 400 orang. Setiap perahu Galle diberi nama tersendiri. Seperti I Galle Dondona Ralle Cappaga panjang 25 depa [kurang lebih 35 m], I Galle I Nyannyik Sangguk dan I Galle Mangking Naiya, panjang 15 depa [kurang lebih 27 m], I Galle kalabiu, I Galle Galelangan, I Galle Barang Mamase, I Galle Siga, dan I Galle Uwanngang dengan panjang masing-masing 13 depa atau sekitar 23 meter.

Disamping itu terdapat pula jenis-jenis perahu yang dibuat untuk kepentingan tertentu, seperti jenis perahu Binta untuk penyergapan, perahu Palari sebagai alat pengontrol wilayah kekuasaan di perairan dan pesisir pantai, perahu Padewakang untuk kepentingan dagang, perahu Banawa untuk mengangkut binatang ternak, perahu Palimbang khusus angkutan penumpang antarpulau, perahu Pajala bagi nelayan penangkap ikan, perahu Birowang dan perahu Bilolang untuk mengangkut penumpang jarak dekat.

Dengan itu, maka tak heran jika wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian timur, seluruh Sulawesi, Sangir-Talaud-Pegu-Mindanao di bagian utara, Sula-Dobo-Buru-Kepulauan Aru [Maluku] di sebelah timur, Marege [Australia Utara]-Timor -Sumba-Flores-Sumbawa-Lombok [Nusa Tenggara] di sebelah selatan, dan Kutai dan Berau [Kalimantan Timur] di sebelah Barat.

Selain sebagai armada perang, juga digunakan untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, juga dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, dan Gujarat di India.

Dengan bermunculnya kapal-kapal bangsa Eropah di perairan Nusantara dalam permulaan abad XVII, terutama di bahagian timur Indonesia, yang secara langsung berlayar ke tempat-tempat penghasilan rempah-rempah, maka mau tak mau akan terjadi persaingan diantara mereka, tak terkecuali dengan orang-orang Makassar [Kerajaan Gowa-Tallo].

Oleh Kompeni Belanda orang-orang Makassar merupakan saingan yang berat baginya. Terlebih-lebih sesudah orang-orang Belanda selesai mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol, Portugis, dan Inggris di Maluku, ternyata pelabuhan Makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang dan membeli rempah-rempah lebih murah di Makassar dari pada di daerah Maluku sendiri.

Dalam tahun 1607 setibanya Cornelis Matelief di Ambon, Dia mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada Raja Gowa supaya Raja Gowa jangan mengirim beras ke Malaka dan membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda. Permintaan itu tiada di pedulikan Gowa. Dengan sendirinya merenggangkan hubungan baik diantara keduanya, terutama seketika Belanda telah mulai berhasil memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropah lainnya dengan sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar. Disamping untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting ialah untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan.

Dengan sendirinya sikap menjauhi dari pihak Komponi Belanda [VOC] mulai nampak. Dalam tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan penghapusan kantor di makassar, yang berarti putusnya hubungan baik diantara keduanya. Tetapi sebelum hal ini merupakan suatu ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke kapal "Engkhuysen" yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat berangkat pamit. Akan tetapi masih terdapat piutangnya sama Raja. Oleh sebab itu atas anjurannya, maka kapitan kapal mengundang sejumlah pembesar-pembesar Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya. Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka di suruh serangnya untuk melucuti seluruh senjata-senjatanya karena hendak dijadikan sebagai sandra [gijselaar].

Perkelahian pun terjadilah di kapal itu pada tanggal 25 April 1615, menyebabkan kedua belah pihak menderita kerugian. Pembesar-pembesar Makassar yang datang itu kebanyakannya tewas, terkecuali dua orang, yakni Ince Husain [Syahbandar] dan KaraEngta ri Kotengan [salah seorang keluarga raja] terutama dan dibawa ke Banten. Dengan sendirinya ketegangan-ketegangan pun mulailah terjadi, tetapi belumlah secara besar-besaran.

Sultan Alauddin sangat gusar sekali, tetapi masih dapat menahan diri menunggu sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda. Beberapa buah kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih dietrimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.

Pada akhir tahun 1616 sebuah kapal Belanda yang bernama "De Eendragt" yang setelah meninggalkan tanah airnya terdampar di pantai barat Australia dan membikin peta sebagian daerah itu. Dari Australia kapal itu tiba di laut Jawa melalui selat Bali dan tanpa mengetahui kejadian itu di Makassar dan penutupan kantor dagangnya, telah berlabuh di pelabuhan Makassar dan telah turun ke daratan. Kapal, muatan dan anak buahnya itu pun menjadi mangsa orang Makassar. Dan mulai pada waktu itulah terjadi perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Berpuncak pada kejatuhan Makassar pada tahun 1667 yang ditandai dengan diadakannya Perjanjian Bungaya.

Namun walaupun demikian, orang-orang Makassar yang tidak ingin menerima Perjanjian Bungaya dan tidak merasa senang dengan kehadiran Belanda tetap menjadi ancaman bagi Belanda [VOC] baik didarat maupun di lautan. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah salah satunya adalah Karaeng Galesong hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, mereka memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut". Mereka menjadi Bajak Laut bagi Belanda [VOC] beserta koloni-koloninya yang merupakan musuh-musuh mereka, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ketidakadilan. Mereka berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan mereka.**


Sumber : http://adhiehr.blogspot.com/2011/02/catatan-dari-negeri-para-pelaut-ulung.html

Tunipallangga Ulaweng Sang Penakluk

 

Nama pribadinya, adalah I Manriwagau, nama Paddaenganna adalah Daeng Bonto, nama Pakkaraenganna sebelum ia menjadi penguasa adalah Karaeng Lakiyung, Nama-Nya setelah meninggal disebut Tunipallangga Ulaweng [Raja Goa ke-X, memerintah 1547-1565]. Karaeng Tunipallangga Ulaweng dikenang karena sejumlah pencapaiannya. Dia adalah putera Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Dia mewarisi sifat ayahnya : penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, dan sangat berani.

Dalam menjalankan pemerintahan di Goa, Dia di bantu Mangkubuminya Karaeng Tallo [I Mappatakangtana Daeng Paduduq], melanjutkan pembangunan dan perluasan wilayah kekuasaan Goa yang telah dirintis sebelumnya oleh ayahandanya. Dengan menetapkan program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga. Untuk itu beliau memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng Somba Opu sebagai bentang utama. Benteng-benteng lainnya diperkuat dengan pagar keliling [Benteng Barombong dan Benteng anak Goa].

Karaeng Tunipallangga Ulaweng, ialah Raja Goa yang menaklukkan hampir seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan beberapa kerajaan yang berada di Sulawesi Tengah sekarang ini. Ialah Raja Goa yang pertama berperang melawan orang Bugis di Bampangang. Menaklukkan Bajeng, Polombangkeng, Lamuru, Masade, Walanaya. Menaklukkan penguasa yang bernama I Lapasari, penguasa Soppeng yang bernama Puang ri Jammaq, menaklukkan penguasa wanita (datu bainea) bernama I Daengku beserta kerajaan-kerajaan pengikut-nya. Menaklukkan Samanggi, Cenrana, Bengo, Salomekko, Cina, Kacu, Patuku, Kalubimbing, Bulo-Bulo, Kajang, Lamatti, Saumata, Camba, Bulukumba, Ujung Loe, Pannyikkokang, Pationgi, Gantarang, Wero, Selayar, Bira, Turiwawo Atas, Wajo, Otting Buluq-Cenrana, Suppaq, Sawitto, Letang, Duri, Panaikang, Totoli, Kaili.

"Bersama sekutunya [Maros] menaklukkan penguasa wanita (datu bainea) bernama I Daengku dan pengikut-nya. Menaklukkan Cenrana, Salomekko, Cina, Kacu, Patuku, Kalubimbing, Bulo-Bulo, Kajang, dan Lamatti. Menaklukkan Samanggi, Cenrana, Bengo, Saumata dan Camba dan membuatnya menjadi pengikut Goa. Bersama sekutunya [Luwu] menaklukkan Wajo. Bersama sekutunya [Sidenreng] menaklukkan Otting Buluq-Cenrana, Suppaq, Sawitto, Letang, Duri, Panaikang dan membuatnya menjadi pengikut Goa".

Bebeberapa pencapaian lainnya seperti : Menciptakan jabatan Tumakkajananngang [Panglima Perang Kerajaan]. Menciptakan jabatan Tumailalang [Komunikator] untuk menangani administrasi internal. Menciptakan system resmi ukuran berat dan pengukuran. Pertama kali memasang meriam yang diletakan di benteng-benteng besar. Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur logam dan membuat batu bara. Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Goa dan Somba Opu. Penguasa pertama yang didatangi oleh orang melayu [Anakoda Bonang]. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak dan membuat peluru Palembang. Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih dari rakyatnya.

Karaeng Tunipallagga Ulaweng memiliki istri sebanyak 3 [tiga] orang. Satu istrinya bernama I Daeng Ningai, dikaruniai empat orang anak, dua perempuan. Satu lagi istrinya bernama Karaenga ri Biliq Tangngaya anak dari Karaeng Loe ri Katingang anak Karaeng Tuanaq Sappuq, dikaruniai seorang anak perempuan. Satu lagi istrinya bernama Datuq ri Bali [Karaenga ri Suppaq], tidak mempunyai anak.

Ketika ia memimpin Goa melawan Bone, sakit yang diderita-nya bertambah parah [didalam benteng di Papolong]. Oleh sebab itu Dia terpaksa di bawa pulang ke Goa. Hanya berselang 48 hari lamanya di Goa, Dia wafat akibat penyakitnya itu. Oleh sebab itu disebut Karaeng Tunipallangga Ulaweng.

Setelah Karaeng Tunipallangga Ulaweng wafat, Dia digantikan oleh saudaranya yang bernama I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tunibatta sebagai Somba Gowa XI.** Wassalam, Semoga manfaat...

Referensi :
*1) Lontara Goa.
*2) Lontara Maros.
*3) Zainuddin Tika-M. Ridwan Syam-Rosdiana Z, Profil Raja-Raja Gowa.
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2011/02/tunipallangga-ulaweng-sang-penakluk.html

Kitab La Galigo Tidaklah Lebih Tua dari Aksara (Huruf) Lontara

Kitab dan Aksara ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Kitab La Galigo atau biasa juga disebut Kitab Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis Makassar di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi kuno, ditulis dalam huruf lontara kuno. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. Epik ini panjangnya melebihi Mahabharata dari India, bahkan ada yang menduga bahwa epik ini lebih tua dari Mahabarata yang dari India tersebut.

Aksara Lontara adalah aksara yang dipakai dalam Kitab Galigo, dan sebagaimana dikatakan diatas, bahwa Kitab tersebut ditulis dalam aksara lontara kuno, jadi bukan ditulis dalam lontara yang ada sekarang (lontara belah ketupat). Berikut aksara lontara kuno yang dipakai dalam kitab tersebut (sebelah kiri), sebagaimana yang dikemukakan oleh Matthes sang penulis ulang, dikutif oleh Holle (1882).


Adalah Daeng Pamatte yang dikenal sebagai pencipta aksara lontara ini, sebagaimana disebutkan dalam Lontara Gowa (catatan harian kerajaan), berikut kutipannya :

(…iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannarakna minne Karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannarak, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak Mangkasarak).

(…Baru Raja inilah yang pertama membuat undang-undang dan peraturan perang. Syahbandar raja ini bernama Daeng Pamatte, dia syahbandar dan dia juga Tumailalang, Daeng Pamatte inilah yang membuat lontarak Makassar).

Lahirnya aksara lontara, bermula karena ia (Daeng Pamatte) diperintah oleh Karaeng Tumapa’risik Kallonna untuk mencipta hurup Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis. Aksara lontara sendiri sudah mengalami perkembangan dan perubahan baik jumlah maupun bentuknya sejak diciptakannya.

Lantas apa yang membuat orang-orang beranggapan/ berpendapat bahwa Kitab Galigo lebih tua dari Aksara Lontara itu sendiri…? Jawabannya adalah karena Kitab Galigo tersebut bercerita mengenai awal dimulainya “penciptaan” dunia serta bercerita mengenai “manusia pertama” sebagai penghuni bumi, juga tidak lepas dari isinya yang penuh dengan mitos. Kalau demikian apa bedanya dengan Al-Quran sebagai kitab suci serta kitab-kitab suci lainnya yang ada sekarang ini, yang juga didalamnya banyak bercerita mengenai awal penciptaan dunia serta penciptaan manusia pertama, yang didalamnya juga banyak mengandung makna yang tersembunyi. Dapatkah kita katakan bahwa Kitab Suci tersebut lebih dahulu ada daripada tulisan/ aksara yang dipakai dalam kitab tersebut…? Jawabannya adalah TIDAK.....oleh karena tidaklah mungkin suatu kitab bisa tercipta tanpa adanya aksara/ tulisan lebih dahulu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kitab Galigo tidaklah lebih tua dari Aksara Lontara. Adapun tua (lebih dahulu ada) yang dimaksud adalah ceritanya dan bukanlah kitabnya, oleh karena suatu cerita dapat hidup dan berkembang sepanjang keberadaan manusia itu sendiri.** Wassalam.
.

Sumber :  http://adhiehr.blogspot.com/2011/04/kitab-la-galigo-tidaklah-lebih-tua-dari.html

Karaeng Matoaya

Karaeng Matoaya

 

 

Nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk adalah, I-Mallingkaang. Nama kerajaan-Nya (Paddaenganna) adalah Daeng Mannyonri. Nama (Pakkaraenganna) sebelum Ia menjadi penguasa adalah Karaeng Katangka. Disebut juga Sultan Abdullah Awawul Islam. Nama-Nya setelah meninggal disebut Tu-Mammenanga-ri-Agamana ('Dia yang meninggal dalam agamanya "). Di gelar juga Karaeng Kanjilo, Karaeng Segeri, Karaeng Barombong, Karaeng Data dan Karaeng Allu. Namun diantara nama-Nya itu Beliau lebih populer dengan nama Karaeng Matoaya (Raja Tua) (1570-1636). Raja Tallo sekaligus merupakan Perdana Menteri Gowa.

Karaeng Matoaya adalah anak dari Raja Tallo ke-IV, I Mappatakangtana Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) dari istrinya yang bernama, semoga saya tidak terkutuk adalah I Sapi. Naik tahta mengantikan Raja Tallo ke VI yang juga merupakan Raja Gowa ke- XIII yang bernama I-Tepukaraeng Daeng Parabung Karaeng Bontolangkasa “Tunipasulu” Tu Menanga ri Butung.

Digelar Sultan Abdullah Awawul Islam karena Dialah orang pertama yang mengucapkan kalimat syahadat di tanah Sulawesi. Ia masuk Islam pada malam jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah (22 September 1605). Yang mengislamkannya ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang berasal dari kota tengah (Sumatera Barat) yang juga di gelar Datok ri Bandang.

Karaeng Matoaya dikenal sebagai seorang Muslim yang taat dan berpengetahuan, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut : Dikatakan bahwa Raja ini adalah seorang yang sangat alim berpengetahuan (panrita), seorang pemberani, seorang yang mempunyai wawasan yang sangat mendalam dan bijaksana; seorang yang terampil dan mampu menjadi penyelenggara (penentu, pengambil kebijakan); tangkas dalam pekerjaan baik pekerjaan laki-laki maupun kerajinan perempuan; ia adalah seorang yang jujur (tegak), baik hati, dan ramah. Dia mampu membaca dan memahami apa yang ia baca; Dia mahir membaca dan menulis tulisan Arab, banyak kitab yang Dia baca, dari waktu Dia memeluk agama Islam sampai kematiannya ia tidak pernah meninggalkan sholat kecuali sekali yakni ketika ia menderita sakit (dengan kaki yang bengkak) tatkala orang Inggris mengobatinya dengan memberinya minuman keras, 18 hari lamanya ia tidak shalat. Dia senantiasa mengerjakan sembahyang sunat, seperti shalat sunat Rawatib, Witir, Adduha, Tasbih dan Tahajjud. Berkata I-Loqmoq ri Paotere [salah satu jandanya] :"Paling sedikit sembahyang malamnya dua rakaat dan paling banyak sepuluh rakaat setiap malam”. Dia melakukan sembahyang sunat tasbih pada setiap malam Jumat, Dan setiap malam pada bulan Ramadhan. Dia senantiasa membayar pajak (zakat) emas, zakat kerbau (binatang) juga zakat beras pada setiap tahunnya. Dia sering memberi izin untuk bekerja, dan juga senantiasa berdoa. Berkata Karaenga ri Ujung Pandang :"Dia banyak belajar Morfologi arab dari Khatib Intang di Koja Manawara'.

Karaeng inilah yang menjadikan (ampasallangi) orang Makassar di seluruh tanah Makassar menganut agama Islam. Juga orang Bugis di seluruh tanah Bugis, kecuali Luwu. Dikatakan bahwa hanya dua tahun setelah Karaeng Matoaya mengucapkan Syahadat, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo pun sudah selesai di Islamkan, yang ditandai dengan diadakannya sembahyang Jumat pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016). Dan dalam jangka waktu 4 tahun, seluruh tanah di Sulawesi Selatan pun telah di islamkan.

Meskipun Karaeng Matoaya adalah orang kedua dibawah Raja Gowa. Namun Dia adalah merupakan pemimpin utama kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) yang mengendalikan seluruh kebijakan didalamnya, terutama pada tahun-tahun awal ketika Raja Gowa, yang juga keponakannya itu masih sangat muda (masih belia).

Karaeng Matoaya tercatat menikah sebanyak dua (2) kali. Satu istrinya bernama Karaeng Manaungi. Satu lagi istrinya bernama Karaeng ri Naung. Dari hasil perkawinannya tersebut dikaruniai enam (6) orang anak ; 1) Karaeng Patinga Tampatsina. 2) I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar. 3) I-Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang [Tumenanga ri Bontobiraeng]. 4) La Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo Abdul Kadir. 5) Tumataya ri Bantang Daeng Mangemba. 6) Daeng Mangeppe.

Setelah Karaeng Matoaya wafat, Dia digantikan oleh anaknya yang bernama I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makkiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar sebagai Raja Tallo VIII, dari istrinya yang bernama Karaeng ri Naung.**

Wassalam, Semoga manfaat...
Sumber : http://adhiehr.blogspot.com/2011/08/karaeng-matoaya.html