Daeng Pamatte’ Pencipta Aksara Lontara
Daeng
Pamatte’ lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang
tokoh sejarah Kerajaan Gowa, kerajaan SUKU MAKASSAR, yang tidak dapat
dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat
Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte’, orang lantas mengingat
karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta huruf Lontara
Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.
Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng
Tumapakrisi Kallonna, tersebutlah Daeng Pamatte’ sebagai seorang pejabat
yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya
oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam
pemerintahan yaitu sebagai “sabannara” (syahbandar) merangkap
“Tumailalang” (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang
bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.Lahirnya
Aksara LontaraLahirnya karya bersejarah yang dibuat “Daeng Pamatte”
bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk
mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan
kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat
berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa
kerajaan dapat dicatat secara tertulis.
Maka Daeng Pamatte’ pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana
ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf .
Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara
Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang
(burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang
mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf
Sangsekerta.Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte’ ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni “ha” sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).
Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat
Jenis
aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah
Lontara Jangang-Jangang atau Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan
memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti burung yang
sedang terbang dengan huruf “Ka” burung hendak turun ke tanah dengan
huruf “Nga”, bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang
huruf “Nga”. Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah
perjanjian Bungaya. Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam
sebagai
agama Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf pun berubah mengikuti simbol
angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf “ka”
angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna “Ga” angka tujuh
dengan titik diatas diberi makna “Nga”, juga bilangan arab lainnya yang
jumlahnya 18 huruf . Aksara Lontara ini disebut juga Lontara
Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini
diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa
XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi
lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil bentuk huruf dari
Belah Ketupat.Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Makassar itu
menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah
aksara yang semula 18 huruf
dan
kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu
dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam
dari bahasa arab tersebut, huruf “Ha”.Dalam pada itu, dalam versi lain
Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte jugalah yang
menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana
adanya sekarang. Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian
dalam perkembangannya untuk keperluan bahasa Bugis ditambahkan empat
huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi menjadi 23 huruf
sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Bugis
Makassar.**sumber : http://adhiehr.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar